YANG BERWENANG MENCABUT?

Siapakah yang berwenang mencabut Undang-Undang

www.jackandassociates.id, Jombang– Undang-undang bisa dicabut karena dua sebab, yaitu karena dicabut sendiri oleh suatu undang-undang dan atau karena putusan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan mencabut undang-undang adalah kekuasaan yang dimiliki oleh beberapa pihak tertentu dalam sistem perundang-undangan. Pihak yang berwenang mencabut undang-undang dapat bervariasi tergantung pada jenis undang-undang yang dimaksud. Dapat termasuk lembaga legislatif, lembaga eksekutif, atau lembaga yudikatif.

Proses pencabutan ini biasanya dilakukan melalui prosedur yang telah diatur dalam sistem hukum suatu negara. Dapat terjadi karena banyak alasan seperti: Kebijakan yang telah berubah, adanya ketidaksesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi, atau adanya kesalahan teknis dalam proses pembuatan undang-undang.

Kewenangan pembentukan undang-undang ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Presiden. Tetapi dalam hal-hal tertentu seperti otonomi daerah, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ikut dalam proses pembahasan undang-undang, tetapi tidak memberikan persetujuan. DPR dan Presiden masing-masing berhak mengajukan, membahas, mengubah, menyetujui, dan/atau menolak suatu rancangan undang-undang. DPR dan Presiden merupakan pembentuk undang-undang (law making power). Setiap undang-undang mempunyai norma hukum yang bersifat terus menerus (dauerhaftig). Maksudnya, selama belum diubah, dicabut, atau diganti, norma atau ketentuan di dalam undang-undang akan terus berlaku.

Siapakah yang memiliki wewenang?

Pencabutan adalah proses untuk menjadikan suatu peraturan perundang-undangan. Tidak memiliki daya laku dan daya guna lagi sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Pencabutan harus dilakukan dengan peraturan yang setara atau lebih tinggi. Dengan demikian, DPR bersama Presiden merupakan lembaga negara yang berwenang mencabut undang-undang. Dijelaskan dalam Pasal 7 Ayat 1 UUD 1945 Menetapkan Kekuasaan Pembentukan UU Ada Di Tangan DPR RI.

Sebagai kekuasaan yang tertinggi dalam negara, DPR RI memiliki tanggung jawab besar dalam menyusun dan menyusun rancangan Undang-Undang demi kepentingan negara dan masyarakat. Oleh karena itu, DPR RI perlu memastikan kelancaran dan keberhasilan proses pembentukan dan pengesahan Undang-Undang agar tercapai tujuan yang diharapkan. Presiden Juga Memiliki Hak Veto Terhadap UU Yang Telah Disetujui DPR RI. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden memegang peranan yang sangat penting, termasuk dalam hal penetapan undang-undang. Meskipun DPR RI memiliki kewenangan untuk membuat dan menyetujui rancangan undang-undang. Presiden juga memiliki hak veto terhadap undang-undang yang telah disetujui oleh DPR RI.

Artinya, jika Presiden tidak setuju dengan isi dari sebuah undang-undang yang telah disahkan oleh DPR, maka Presiden dapat menolaknya dan mengembalikannya kepada DPR untuk diperbaiki. Dalam hal ini, Presiden dapat menggunakan hak veto-nya sebagai alat untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil melalui undang-undang tersebut sesuai dengan visi dan misi negara serta kepentingan rakyat.

Seperti halnya DPR, hak veto Presiden juga diatur dalam Konstitusi Indonesia, sehingga memastikan kekuasaan yang seimbang dan demokratis dalam sistem pemerintahan Indonesia. Putusan MK dapat menyatakan suatu undang-undang ‘dicabut’ atau ‘dibatalkan’. Namun pencabutan ini berbeda dengan kewenangan yang diberikan kepada DPR bersama Presiden melalui pembentukan undang-undang.

Aturan

Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 guna menilai kesesuaiannya dengan UUD 1945. Jika MK memutuskan undang-undang telah bertentangan dengan UUD 1945, undang-undang secara keseluruhan atau bagian tertentu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam situasi tersebut, undang-undang atau bagian undang-undang yang bersangkutan hanya memiliki daya laku saja tetapi tidak memiliki daya guna.Masih memiliki daya laku karena belum dicabut oleh undang-undang. Tidak memiliki daya guna karena undang-undang itu tidak boleh dipatuhi karena dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional).

Pencabutan terhadap ketentuan yang dinyatakan inkonstitusional tidak wajib dilakukan, tetapi mungkin saja terdapat perubahan (penyesuaian) terhadapnya. Misalnya dalam Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa UU 7/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan juga dinyatakan untuk memberlakukan kembali UU 11/1974 (hal. 146).

Setelah itu, diterbitkan UU 17/2019 yang tidak menyatakan pencabutan UU 7/2004, melainkan mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU 11/1974. Dengan demikian, pembatalan atau pernyataan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atas suatu undang-undang berdasarkan putusan MK tidak wajib dan tidak selalu diikuti dengan pencabutan dengan undang-undang dapat dipahami bahwa kewenangan pencabutan undang-undang ada pada kewenangan pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Presiden. Lain halnya dalam kegentingan yang memaksa, menurut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, Presiden dapat mencabut undang-undang melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perppu”). Sehingga, suatu Perppu dapat saja mencabut undang-undang.

Posted in