Menanti Peraturan Pelaksanaan Tentang Cagar Budaya

Menanti Peraturan Pelaksanaan Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Jombang – Indonesia kaya akan cagar budaya yang tersebar hampir di setiap daerah. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah cagar budaya mencapai 66.348 buah (Kompas, 22 April 2014). Cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang tidak ternilai harganya. Cagar budaya memiliki arti penting bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, serta kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Cagar budaya merupakan aset kebudayaan bangsa yang harus dilestarikanuntuk memupuk kesadaran jatidiri Bangsa Indonesia.

Pengaturan Cagar Budaya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UU No. 11 Tahun 2010). Undang-Undang ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (UU No. 5 Tahun 1992). Ada beberapa poin penting dalam UU No. 11 Tahun 2010 yang berbeda konsepnya dengan UU No. 5 Tahun 1992.Pertama, dalam UU No. 5 Tahun 1992, hanya dikenal istilah “benda cagar budaya” dan “situs”, sedangkan dalam UU No.11 Tahun 2010 terdapat istilah “benda cagar budaya”, “bangunan cagar budaya”, “struktur cagar budaya”, “situs cagar budaya”, dan “kawasan cagar budaya”. Kelimanya merupakan bagian dari cagar budaya. Perbedaan ini berpengaruh pada namadalam judul undang-undangyang mencerminkan isi undang-undang. Judul UU No. 5 Tahun 1992 menggunakan nama “Benda Cagar Budaya” sedangkan judulUU No.11 Tahun 2010 menggunakan nama “Cagar Budaya” untuk mencerminkan bahwa cagar budaya meliputi benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya.

Kedua, perbedaan paradigma “pelestarian”. Dalam UU No. 5 Tahun 1992, konsep pelestarian tidak dirumuskan  secara eksplisit namun menggambarkan bahwa pelestarian cenderung mengacu kepada   upaya pelindungan yang bersifat statis, misalnya dengan membuat batasan secara relatif ketat pada aktifitas pengembangan dan pemanfaatan yang dianggap berpotensi merusak cagar budaya (Rahardjo, 2013). Pelestarian terkesan dipertentangan dengan pengembangan dan pemanfaatan. Dalam UU No. 11 Tahun 2010, konsep pelestarian tergambar dengan jelas.Pelestariandiartikan sebagai upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan menekankan pada tiga aspek yakni pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pelestarian dilihat sebagai sebuah sistem yang menghubungkan unsur pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan sehingga ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Setiap unsur memberikan fungsi kepada unsur lain sehingga pelestarian bersifat dinamis, bukan statis (Atmodjo, 2011).

Pelindungan cagar budaya dilakukan melalui penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran. Pengembangan cagar budaya dilakukan melalui penelitian, revitalisasi, dan adaptasi secara berkelanjutan serta selaras dengan tujuan pelestarian. Adapun pemanfaatan cagar budaya merupakan pendayagunaan cagar budaya yangdapat dilakukan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata demi kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya. Dalam UU No. 11 Tahun 2010, pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan beserta masing-masing upaya di dalamnya diatur secarakomprehensif dan sistematis sehingga menciptakan konsep pelestarian yang utuh.

Ada beberapa hal yang sebelumnya tidak diatur dalam UU No. 5 Tahun 1992 kini diatur dalam UU No. 11 Tahun 2010. Pertama, pengaturan mengenai register nasional cagar budaya yang mencakup tahapan pendaftaran, pengkajian, penetapan, pencatatan, dan pemeringkatan. Kedua, pengaturan mengenai pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam pelestarian cagar budaya. Ketiga, pengaturan mengenai kompensasi bagi penemu apabila benda, bangunan, struktur, atau lokasiyang ditemukannya ditetapkan sebagai cagar budaya. Keempat, adanya pelarangan terhadap kegiatan tertentu kecuali atas izin pejabat yang berwenang sesuai tingkatannya misalnya larangan pengalihan kepemilikancagar budaya dan pengubahan fungsi ruang situs cagar budaya atau kawasan cagar budaya.

Belum Ditinjaklanjuti Peraturan PelaksanaanSejak diundangkan pada tanggal 24 November 2010, hingga saat ini (kurang lebih empat tahun), UU No. 11 Tahun 2010 belum dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya. Pasal 117 UU No. 11 Tahun 2010 mengamanatkan bahwa “peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan Undang- Undang ini”. Dengan demikian, paling lambat tanggal 24 November 2011, UU No. 11 Tahun 2010 harus sudah dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya.Hingga saat ini belum ada satupun peraturan pelaksanaan yang diterbitkan meskipun terdapat 22 materi muatan yang didelegasikan dari UU No. 11 Tahun 2010 untuk segera ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan.

Ada beberapa permasalahan cagar budaya di masyarakat yang membutuhkan landasan hukum berupa peraturan pelaksanaan dari UU No. 11 Tahun 2010, antara lain:Pertama,terbitnyaKeputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 259/M/2013 tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis Muarajambi sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 260/M/2013 tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis Trowulan sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional pada bulan Desember 2013. Terbitnya keputusan tersebut berimplikasi pengelolaan terhadap kawasan tersebut harus dilakukan dengan segera. Pengelolaan menurut UU No. 11 Tahun 2010 merupakan upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan Pasal 97 UU No. 11 Tahun 2010, khusus untuk kawasan cagar budaya, pengelolaan dilakukan  oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,  dan/atau masyarat hukum adat. Badan pengelola ini dapat terdiri atas unsur pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat. Pengelolaan kawasan cagar budaya dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat terhadap cagar budaya dan kepentingan sosial.

Penetapan sebagai kawasan cagar budaya juga perlu segera ditinjaklanjuti dengan sistem zonasiuntuk mentukan batas-batas keluasaan dan fungsi ruang kawasan cagar budaya. Zonasi merupakan kegiatan yang sangat penting dalam pelindungan kawasan cagar budaya sebagai sarana untuk mengatur pemanfaatan ruang. Dengan sistem zonasi tersebut, Kawasan Cagar Budaya Muarajambi dan Kawasan Cagar Budaya Trowulan dan dapat terdiri atas zona inti, zona penyangga, zona pengembangan, dan zona penunjang. Berdasarkan UU No. 11 tahun 2010, zona inti merupakan area pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting cagar budaya; zona penyangga merupakan area yang melindungi zona inti; zona pengembangan merupakan area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi cagar budaya seperti untuk kepentingan keagamaan, lanskap budaya, dan konservasi lingkungan alam; dan zona penunjang merupakan area yang diperuntukkan bagi sarana dan prasarana penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum. Berdasarkan Pasal 72 ayat (2) huruf a UU No. 11 Tahun 2010, sistem zonasi untukKawasan Cagar Budaya Muarajambi dan Kawasan Cagar Budaya Trowulan sebagai cagar budaya peringkat nasional ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayan. Dalam UU No. 11 Tahun 2010, ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan cagar budaya dan tata cara penetapan sistem zonasi tersebut didelegasikan untuk diatur ke dalam peraturan pemerintah.

Kedua, tersisihnya situs-situs peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Palembang, Sumatera Selatan  yang beralih fungsi menjadi permukiman dan bangunan. Alih fungsi pada situs-situs bersejarah tersebut terjadi karena Pemerintah Kota Palembang belum menetapkannya sebagai cagar budaya (Kompas, 17 Maret 2014). Upaya untuk menetapkan situs-situs tersebut sebagai cagar budaya harus segera dilakukan. Setelah ditetapkan sebagai cagar budaya, pengalihan fungsi cagar budaya harus mengacu kepada UU No. 11 Tahun 2010 yang pada intinya mengatur bahwa pengubahan fungsi ruang situs cagar budaya harus dengan izin menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan tingkatan cagar budaya.Dalam UU No. 11 Tahun 2010, ketentuan mengenai pemberian izin pengubahan fungsi ruang didelegasikan untuk diatur kedalamperaturan pemerintah.

Ketiga, penemuan berbagai benda yang diduga cagar budayaoleh warga. Di Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, benda-benda bersejarah yang ditemukan warga dibiarkan terbengkalai di rumah atau dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga (Kompas, 6 Februari 2014). Di Situs Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, banyak petambang yang mengeruk pasir dan bebatuan untuk mencari benda- benda kuno peninggalan sejarahuntuk dijual (Kompas, 4 Februari 2014). Di Desa Brumbung, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri, Jawa Timur benda yang diduga sebagai cagar budaya juga diperkirakan masih tersebar di lahan warga. Aparat desa telah berupaya memberikan kompensasi kepada warga yang menyerahkan temuan benda yang diduga cagar budaya ke balai desa. Namun aparat desa menilai, nilai  kompensasi yang diberikan masih relatif kecil. Pihak desa mengharapkan bantuan dari pemerintah pusat atau pemerintah  daerah untuk membantu memberikan kompensasi (Kompas, 28 Maret 2014). Pengaturan kompensasi pada dasarnya telah tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2010 yang mengatur bahwa “setiap orang berhak memperoleh kompensasi apabila benda, bangunan, struktur, atau lokasi yang ditemukannya ditetapkan sebagai cagar budaya”.Ketentuan mengenai penemuan cagar budaya dan kompensasinya didelegasikan untuk diatur ke dalam peraturan pemerintah.

Dari beberapa permasalahan cagar budaya yang mengemuka di masyarakat tersebut, kehadiran peraturan pemerintahdari UU No.11/2010 yang mengaturmengenai pengelolaan kawasan cagar budaya dan sistem zonasi merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Sangat disayangkan apabila ketiadaan peraturan pemerintah tersebut menyebabkan terhambatnya pengelolaan kawasan cagar budaya dan tertundanya penentuan sistem zonasi,sehingga kawasan cagar budaya berpeluang terbengkalai dan terancam rusak. Padahal lahirnya penetapan kawasan cagar budaya tersebut merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan kawasan dari kegiatan di dalam dan sekitar kawasan yang berpotensi merusak kawasan.

Begitupula dengan urgensi diterbitkannya peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pemberian izin pengubahan fungsi ruang situscagar budaya dan penemuan cagar budaya beserta kompensasinya. Jangan sampai ketiadaan peraturan pemerintah tersebut mengakibatkan alih fungsi ruang situs cagar budaya menjadi tidak terkendali dan terkatung-katungnya pemberian kompensasi mengakibatkan masyarakat mengabaikan temuannya, bahkanapabila temuannya bernilai tinggi, menjadi rentan untuk dijual.Menurut Soerjono Soekanto (2002), terganggunya penegakan hukumantara lain disebabkan belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan Undang-Undang. Selain menyulitkan impementasi UU No. 11 Tahun 2010, ketiadaan peraturan pelaksanakaan menyebabkan permasalahan di masyarakat tidak dapat segera diselesaikansehingga peluang terjadinya aktivitas destruktif terhadap cagar budaya semakin besar.

Berharap kepada Pemerintah dan DPR RI dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Lahirnya UU No. 11 Tahun 2010 yang mengatur cagar budayasecara komprehensif dan sistematistelah memberikan harapan besar bagi pelestarian cagar budaya dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Sangat disayangkan apabila UU No.11 Tahun 2010 sebagai hasil kerja keras Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tersebut sulit diimplementasikan dantidak dapat menjawab berbagai permasalahan di masyarakat karena ketiadaan peraturan pelaksanaannya. Dengan adanya berbagai kasus yang terjadi di masyarakat dan demi tercapainya tujuan pelestarian cagar budaya dalam UU No.11 Tahun 2010, Pemerintah perlu segera menyelesaikan peraturan pelaksanaan dari UU No. 11 Tahun 2010. DPR RI sebagai lembaga legislatif yang memiliki fungsi pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, melalui alat kelengkapan terkait (Komisi X), sepatutnya juga mengingatkan Pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan pelaksanaan dari UU No. 11 Tahun 2010 agar persoalan cagar budaya tidak berlarut dan upaya pelestarian cagar budaya yang meliputi pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dapat berjalan optimal.

Posted in